Presiden Joko Widodo terus bergerilya merayu investor untuk membangun IKN di setiap kunjungan kerja ke sejumlah negara. Namun, Presiden tidak boleh abai dengan berbagai permasalahan kesejahteraan rakyat Indonesia yang harus segera diselesaikan.
Dalam konferensi pers Rakernas PDIP, Presiden mengatakan jelas harus cawe-cawe karena ada riak-riak yang membahayakan negara. Tapi hal berbeda disampaikan saat promosi IKN yakni situasi kondusif.
Tidak sulit dimengerti mengapa pidato Presiden Joko Widodo di Ecosperity Week di Singapura menjadi perbincangan internasional, Rabu (7/6/2023). Dalam event untuk mendorong pembangunan hijau itu, Presiden memilih jualan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Tidak salah jika Presiden mempromosikan mega proyek IKN yang ditargetkan selesai pada 2045. IKN didesain menjadi kota net karbon pertama di Indonesia.
Dengan begitu, pidato jualan IKN tersebut tidak salah dalam konteks setempat. Jangan pula kita memusingkan ajakan Presiden bagi warga Singapura tinggal di IKN. Sekadar tinggal jelas berbeda dengan kepemilikan.
Selain itu, sebagai kota besar dunia, IKN memang harus siap menjadi melting pot. Yang pantas diherankan adalah cermin prioritas Joko Widodo di pidato itu.
IKN tampak menjadi prioritas. Padahal banyak target-target penting yang belum tercapai hingga akhir kepemimpinan ini.
Memang dengan disahkan UU No.3 Tahun 2022 Tentang IKN, pemerintah mengemban amanah mewujudkan IKN. Pemerintah menargetkan pembangunan tahap pertama selesai pada 2024, sementara hingga kini masih sepi investor.
Namun, IKN tidak boleh mengesampingkan target-target genting nasional. Khusus soal utang target di RP JNM 2020-2024. Bahkan baru beberapa hari lalu disampaikan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa di DPR.
Sebut saja angka stunting yang saat ini di kisaran 21,6%. Padahal pada 2024 ditargetkan dapat turun hingga mencapai 14%.
Masih soal target PR JMN 2020-2024 yang jauh panggang dari api adalah target fasilitas kesehatan tingkat pertama yang baru mencapai 56,07% pada 2022. Sedangkan pada 2022 ditargetkan mencapai 83%.
Meski bidang kesehatan, masyarakat sangat paham jika indikator-indikator itu sebenarnya sangat dipengaruhi tingkat ekonomi. Terbukti, provinsi-provinsi dengan capaian rendah indikator RP JNM itu juga merupakan provinsi dengan tingkat pendapatan terendah, seperti di NTT.